Lahir Di Tengah Seni Bela Diri, Jhanlo Sangiao Siap Buktikan Diri

Jhanlo Sangiao ONE Championship Belts 1200X800

Sementara banyak atlet mungkin mengatakan bahwa kehidupan mereka selalu berputar dalam dunia bela diri, biasanya ada sedikit bualan di sana – namun dalam kasus Jhanlo Sangiao, klaim tersebut memang nyata.

Seniman bela diri campuran berusia 18 tahun yang baru saja bergabung bersama ONE Championship ini adalah anak dari pelatih kepala sasana terkenal Team Lakay, Mark Sangiao. Itu berarti Jhanlo telah menghabiskan seluruh hidupnya mempelajari apa yang dilakukan ayahnya dan berlatih bersama para atlet elite dari sasana itu.

Pria muda asal Filipina ini memasuki divisi bantamweight ONE dengan kegemparan besar, dimana ia pun termotivasi untuk mewujudkan potensi besarnya di atas panggung dunia.

Sejak Hari Pertama

Jhanlo lahir satu tahun sebelum Team Lakay secara resmi dibentuk di University of the Cordilleras, yang berarti ia benar-benar bertumbuh dewasa bersama tim ini.

Faktanya, salah satu kenangan masa kecilnya adalah berkejaran dengan para atlet tim Baguio ini dan mencoba menirukan seluruh gerakan mereka.

“Bahkan saat saya masih bayi, saya kira orang tua saya akan membawa saya ke sasana saat ayah saya mengajar. Saat berusia 6 tahun, saya sudah berlari-lari, bergabung dengan murid-murid ayah saya,” katanya.

“Saya kira saya cukup mengganggu saat anak-anak, tetapi itulah saat saya mulai menghargai apa yang mereka lakukan. Berada di sekitar para atlet, anda akan ingin melakukan apa yang mereka lakukan.”

Kekaguman itu akhirnya berubah menjadi minat yang lebih kuat bagi Jhanlo. Ia menyukai kerja keras itu, serta mulai berlatih bersama ayah dan para muridnya.

Tak lama kemudian, ia merasakan kompetisi pertamanya – dan sangat menyukainya.

“Di masa lalu, itu hanya permainan dan kesenangan bagi saya. Hanya berlarian dan berkeringat, tak menganggapnya serius,” kenang Jhanlo.

“Namun saya merasa harus lebih serius saat ayah membawa saya ke kompetisi pertama saya. Itu adalah kompetisi Muay Thai lokal di Baguio, saya kira saya berusia 14 tahun saat itu, dan saya memenangkan medali emas. Itulah saat saya menyadari bahwa saya dapat melakukan ini dalam waktu yang cukup lama.”

Itu seperti Mark telah mengetahuinya selama ini. Ia tak pernah meyakinkan Jhanlo untuk mengikuti jalur yang diambilnya, namun dengan menunjukkan apa yang ia lakukan sejak dini, gairah itu pun bertumbuh.

Dan dari sisi Jhanlo, aksi itu juga berbicara lebih keras dari hanya sekedar kata-kata.

“Sebenarnya, saya bahkan tak harus mengatakan apa pun padanya [sang ayah],” kata pria berusia 18 tahun ini. “Saya hanya datang setiap hari. Saya berlatih. Saya bekerja dengan mereka yang lebih tua dari saya dan hanya itu.”

Mengikuti Jejak Kejayaan

Mereka mengatakan bahwa kehebatan akan menarik kehebatan lainnya, dan itu adalah peribahasa yang selalu diingat Jhanlo.

Sebagai seorang remaja di tengah para atlet kelas dunia – termasuk para mantan Juara Dunia Eduard “Landslide” Folayang, Kevin “The Silencer” Belingon dan Geje “Gravity” Eustaquio – seniman bela diri muda ini selalu harus bertahan melawan atlet yang lebih berat dalam sesi latihannya.

Tetapi ia menyadari bahwa untuk belajar dari para legenda tersebut akan menjadikannya petarung yang lebih kuat, dan ia berdeterminasi untuk tidak membuang kesempatan itu.

“Adalah hal yang besar untuk dapat berlatih bersama para bintang kami setiap harinya. Itulah salah satu motivasi saya, fakta bahwa saya berlatih bersama para atlet yang telah menjadi Juara Dunia dan melakukan banyak hal dalam olahraga ini membuat saya percaya bahwa saya dapat melakukannya juga,” jelas Jhanlo.

“Saya terinspirasi hanya berada di sekitar mereka, dan saya terdorong untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.”

Selain itu, Mark juga tak pernah membedakan anaknya dalam sesi latihan. Sebaliknya, dinamika hubungan mereka menjadi lebih seperti mentor dan murid, seperti bagaimana para pelatih kepala lainnya memperlakukan para atletnya.

Bagi Jhanlo, ia tak akan ingin mengubah hal itu.

“Saat kami mulai berlatih, itu seperti kami sama sekali bukan keluarga kandung. Itu seperti saya bukan anaknya dan ia bukan ayah saya,” kata remaja ini sambil tersenyum.

“Ia memperlakukan saya seperti salah satu muridnya. Saya bahkan tak memanggilnya ‘papa’ di sasana. Saya memanggilnya ‘coach.'”



Kekuatan Besar, Ekspektasi Besar

Memiliki akses berinteraksi bersama para Juara Dunia dan ayah yang melatih mereka adalah sebuah keistimewaan yang dinikmati oleh Jhanlo dalam pertumbuhannya sebagai seniman bela diri campuran.  Namun bersama keistimewaan itu, datang harapan yang sangat besar, dan ia pun telah terbiasa menjalaninya selama beberapa tahun terakhir.

Bahkan sebelum remaja itu bergabung bersama organisasi bela diri terbesar di dunia ini, penggemar dan media lokal di Filipina sudah menyorotinya, serta menunggu pergerakannya menuju dunia profesional.

Ditambah lagi, kegemparan itu tidak hanya berakhir di Filipina. Vice President ONE dan legenda bela diri campuran Rich Franklin melihat kemampuan pria berusia 18 tahun itu dan menyebutnya “standar untuk segala sesuatu yang mengikuti dirinya.”

“Jelas ada tekanan. Anda tak dapat menyangkal itu,” aku Jhanlo.

“Anda tahu, banyak orang akan datang kepada saya dan mengatakan, ‘Saya telah menunggu debutmu,’ maka dalam pikiran saya itulah tekanannya, karena banyak orang memiliki harapan besar dan anda harus berada pada kondisi terbaik setiap waktu.”

Pada saat yang sama, petarung berbakat ini terfokus untuk tetap rendah hati, bekerja keras dan melakukan yang terbaik untuk memenuhi berbagai harapan dari banyak pihak itu.

“Saya hanya tetap berusaha. Berlatih setiap hari,” kata Jhanlo. “Mempersiapkan diri saya secara fisik dan mental. Itulah yang ayah selalu katakan pada saya, bersiaplah karena waktu itu akan tiba, dan di sinilah kita saat ini.”

Selain itu, akan sangat membantu untuk memiliki seseorang seperti Mark Sangiao di pojokan anda – baik di sasana mau pun di rumah. Kepala keluarga itu selalu mempersiapkan anaknya untuk kehidupan di dalam organisasi bela diri kelas dunia, dimana pengetahuan tersebut akan memudahkan transisi sulit Jhanlo ke ONE Championship.

“Saat saya menandatangani kontrak itu, [ayah saya] berkata, ‘Inilah dia. Ini bukanlah [arena] amatir lagi. Kamu harus siap, kamu harus menjadi lebih baik. Kamu ada di panggung besar, maka jangan bertingkah seperti atlet amatir lagi,’” kenang remaja ini.

“Ia juga berkata bahwa saya harus membangun kepribadian saya, karakter saya, serta mengasah cara saya berbicara dan bagaimana saya bersosialisasi dengan banyak orang, karena itu juga memainkan peranan dalam pertumbuhan saya di sini.”

Mewakili Generasi Baru Team Lakay

Karena Jhanlo bertumbuh dewasa bersama Team Lakay, tim itu juga bertumbuh dalam konteks pengalaman dan pendekatan menyeluruh pada seni bela diri campuran.

Hari-hari dimana mereka terfokus pada striking sudah lewat. Sebaliknya, para pelatih memastikan bahwa atlet mereka membawa kemampuan lengkap ke dalam tiap laga mereka.

Dan jika ada seseorang yang mewakili perkembangan itu, sosok ini adalah Jhanlo, yang seringkali membawa laga ke ground dalam karier amatirnya.

“Dalam berbagai laga saya sebelumnya, saya kebanyakan menghentikan lawan dengan ground-and-pound dan submission,” katanya. “Maka saya rasa itulah yang dapat diharapkan banyak orang dari saya. Hanya itu yang dapat saya katakan saat ini. Lebih baik jika mereka melihatnya sendiri.”

Sementara para penggemar Team Lakay lainnya mungkin terkejut dengan pendekatannya – sesuatu yang sangat berbeda dari rekan satu tim veterannya – Jhanlo bangga mengatakan bahwa ia adalah hasil dari kerja keras, pemikiran mendalam dan kejayaan yang telah dialami para petarung dan pelatihnya selama ini.

“Saat mereka berkata Team Lakay, hal pertama yang ada dalam pikiran banyak orang adalah, ‘Mereka ini adalah striker mematikan.’ Tetapi bagi saya, saya yakin ada dalam tingkatan yang berbeda,” katanya.

“Saya adalah bagian dari generasi baru, generasi yang harus membangun senjata baru setiap harinya.”

Dengan pemikiran dan didikan luar biasa seperti itu, kita dapat mengatakan bahwa Jhanlo memang siap untuk menikmati sorotan besar di ONE Championship. Dan karena perkembangan pesatnya, divisi bantamweight juga harus mempersiapkan diri untuk menyambutnya.

“Ada banyak ekspektasi dari diri saya, karena itu adalah panggung besar,” katanya. “Tentu, ada tekanan di situ, namun saya hanya harus siap. Saya harus bersiap saat kesempatan itu tiba, dan di sinilah kita.”

Baca juga: Kisah Lain Di Balik Team Lakay

Selengkapnya di Fitur

Smilla Sundell Allycia Hellen Rodrigues ONE Fight Night 14 21 scaled
Zakaria El Jamari Ali Saldoev ONE 166 39 scaled
Sinsamut Klinmee Mouhcine Chafi ONE Fight Night 16 64 scaled
Blake Cooper Maurice Abevi ONE Fight Night 14 41 scaled
Constantin Rusu Bogdan Shumarov ONE Fight Night 12 68
Kairat Akhmetov Reece McLaren ONE Fight Night 10 12
WeiRui 1200X800
Regian Eersel Alexis Nicolas ONE Fight Night 21 12
Natalia Diachkova Chellina Chirino ONE Friday Fights 55 14
Sean Climaco
Nanami Ichikawa
Hu Yong Woo Sung Hoon ONE Fight Night 11 50