Saudara Seperjuangan: Ikatan Yang Dorong Maurice Abevi Raih Kesuksesan MMA

Blake Cooper Maurice Abevi ONE Fight Night 14 41 scaled

Maurice Abevi dapat menarik garis dari masa kecilnya ke semangat juang yang sangat kuat.

Kompetisi memang tertanam dalam kehidupan petarung unggulan Swiss ini sejak kecil, dan itulah yang menjadi dorongan bagi dirinya untuk mencapai ONE Championship – dan aksinya melawan “The Warrior” Zhang Lipeng di ONE Fight Night 22.

Terdapat beberapa momen dalam kehidupannya dimana Abevi dapat saja menyerah dan berhenti mengejar tujuannya meraih kesuksesan dalam MMA, tetapi dengan semangat yang selalu membara dalam darahnya, ia tak pernah memikirkan hal lain selain mengejar seluruh impiannya.

Sebelum ia kembali ke Lumpinee Boxing Stadium di Bangkok, Thailand pada Jumat, 3 Mei, atau Sabtu pagi, 4 Mei di Asia, simak apa saja yang mengawali perjalanan petarung berusia 24 tahun ini dalam arena pertarungan.

Bertumbuh Besar Di Zurich

Abevi dibesarkan di daerah pinggiran Zurich, Swiss, dengan kedua orang tua, saudara kembarnya bernama Jonas, serta dua kakak lelaki yang lebih tua.

Ayahnya mendapatkan suaka politik dari Togo, yang bertemu ibunya saat ia menjadi relawan di pusat pengungsian untuk menterjemahkan Alkitab dari bahasa Jerman ke Prancis.

Seperti kisah di film-film, keduanya jatuh cinta, dan saat ayah Abevi mendapatkan izin tinggal secara legal di Swiss, mereka pun menikah dan ia melanjutkan pekerjaannya sebagai penjahit pakaian.

Mengenang masa kecil yang sangat menyenangkan itu, Abevi berkata:

“Zurich itu tempat yang sangat tenang, [ada banyak] suasana alam. Dan itu bagus untuk berkeluarga. Saya ada di dekat kota, tapi masih lebih ke area pedesaan. Saya bertumbuh besar di sana. Saya tinggal di rumah yang sama selama 20 tahun.”

“Kami melakukan banyak hal seperti bermain sepak bola atau hanya bersenang-senang, hanya melakukan hal-hal bodoh atau terlibat dalam permasalahan.”

Bintang yang sedang naik daun ini mengetahui sejak awal bahwa prestasi akademis takkan menjadi keahliannya, dimana ia lebih berhasil dalam berbagai aktivitas fisik.

Ia menambahkan:

“Saya selalu menyukai olahraga. Saya bermain sepak bola selama 12 tahun sejak usia 4 tahun. Saya ingin menjadi pemain sepak bola profesional, tetapi saya akhirnya seperti kehilangan minat untuk itu. Tetapi, saya selalu atletis, selalu mencoba bergerak, selalu mencoba melakukan sesuatu.”

“Saya adalah pria yang cerdas, tetapi saya kira jalur akademis bukanlah kekuatan saya, karena saya tidak bagus saat duduk untuk waktu yang cukup lama. Saat saya terlalu banyak duduk, saya menjadi lelah dan tak dapat berkonsentrasi dalam berbagai hal. Saya di kondisi terbaik saat saya aktif.”

Ditempa Oleh Persaingan Antar Saudara

Salah satu cara Abevi tetap aktif adalah dalam perkelahian hariannya dengan saudara kembarnya, Jonas.

Sementara itu memang menjadi hal unik yang terjadi antar saudara, petarung Swiss ini baru menyadari bahwa itulah yang mengasah semangatnya dalam arena kompetisi.

Ia menjelaskan: 

“Kami akan selalu berkelahi dengan satu sama lain. Seperti, seseorang akan mengambil Nintendo atau telepon atau apa pun milik yang lain, dan yang lain hanya akan mencoba merebutnya kembali, dan tiba-tiba kami berkelahi. Kami tidak peduli tentang Nintendo itu lagi.”

“Kami selalu kompetitif, dan itu adalah bagian terbesar dari sikap saya secara keseluruhan. Saya merasa seperti saudara saya selalu menjadi petarung yang lebih baik atau pemain sepak bola yang lebih baik dan itu akan selalu membuat saya marah.”

“Saya akan selalu berkompetisi dengannya dan mencoba menjadi lebih baik. Dan itu menjadikan saya sangat haus, bahkan sampai sekarang.”

Keduanya sangat menikmati tinju dan kemudian masuk ke seni bela diri campuran melalui permainan video, dimana mereka menguji gerakan mereka dalam kehidupan nyata. Tetapi, adalah sebuah insiden serius yang membawa mereka memasuki sasana untuk pertama kalinya.

Sampai saat itu, mereka hanya bercanda, tetapi sebuah malam penentu di jalanan Zurich membawa mereka beraksi di usia 17 tahun.

Abevi mengenang:

“Kami bermain game di PlayStation dan kami sangat menikmatinya. Kami sangat kompetitif dengan itu, lalu saya dan saudara saya mulai lebih banyak menontonnya dan juga mencoba beberapa teknik.”

“Lalu, satu hari kami diserang oleh beberapa orang asing yang hanya ingin memukuli kami. Kami ada di kota pada malam hari dan beberapa orang hanya maju ke arah kami, mereka berenam dan kami hanya berdua. Mereka memukuli kami dan itu adalah pengalaman yang menjadi pelajaran bagi kami.

“Kami seperti, ‘Wah, kita tak mau ini terjadi lagi.’ Hari berikutnya, kami mulai mencari sasana MMA. Kami menemukan 360 Martial Arts dan itulah sasana pertama dimana saya memulainya. Itu luar biasa.”

Bakat Luar Biasa

Kecocokan dua bersaudara ini dengan disiplin itu sangat terlihat sejak sesi pertama mereka. Abevi teringat pergi ke sana dan memaksa pemegang sabuk putih di sasana itu tap out dengan gerakan yang mereka ciptakan sendiri, atau berbagai hal yang mereka pelajari dari bermain game dan menonton laga.

Namun, berada ke kelas-kelas itu memang membawa mereka ke tingkatan berikutnya. Mereka berlatih setiap hari dan segera menjadi jauh lebih baik – walau terdapat satu momen lain bersama saudaranya dalam kompetisi perdana mereka yang memicu api itu.

Abevi berkata:

“Kami memulai dengan turnamen grappling kurang lebih tiga bulan setelah kami mulai berlatih. Itu cukup lucu karena itu adalah turnamen khusus submission dimana saya dan saudara saya masuk ke final.”

“Kami bertarung keras dalam babak final itu dan ia mencetak submission dengan armbar. Itu adalah hari yang berat bagi saya. Saya senang bagi dirinya. Saya menyayanginya. Tak ada dendam atau apa pun. Tapi, itu masih tetap seperti, ‘Saya harus lebih baik dari ini’”

Sementara saudara kembar Abevi, Jonas, masih berlatih dan mungkin akan kembali berkompetisi, ia tidak terkena demam itu dengan cara yang sama.

Perwakilan Tiger Muay Thai dan 360 Martial Arts ini melepaskan segala sesuatunya untuk mengejar kesuksesan dalam MMA, dimana ia keluar dari pekerjaan magangnya sebagai tukang kayu dan bekerja serabutan demi mendapatkan uang yang cukup untuk berlatih.

Melihat kembali perjalanan hidup mereka yang berbeda, ia berkata:

“Saudara saya masih mencintai MMA. Kami banyak berbicara tentang itu dan itu masih menjadi gairah yang besar bagi dirinya. Tetapi itu tidak seperti saya, dimana saya berkata, ‘Ok, inilah tujuan hidup saya.’ Dan di titik kehidupan saya ini, saya tak ingin melakukan yang lain selain ini.”

“Mungkin satu tahun di dalam latihan saya, saya menyadari bahwa itulah yang ingin saya lakukan, karena saya menjadi semakin baik dan semakin baik lagi. Banyak orang berkata pada saya, ‘Kamu punya potensi. Kamu bisa jadi sesuatu.’”

“Saya hanya berpikir, ‘Bagaimana jika saya mencoba ini dan saya tidak berhasil?’ Lalu, saya berpikir lebih baik saya mencobanya dan gagal daripada tidak pernah mencoba sama sekali. Dan, kini saya berada di sini.”

Kesuksesan Besar

Abevi terjun ke jajaran profesional, dan kerja kerasnya memberi kesempatan yang sangat ia harapkan.

Setelah hanya satu laga profesional, ia meraih kesempatan berkompetisi dalam sebuah turnamen dengan lima laga cepat demi potensi hadiah senilai 10.000 Euro.

Bintang Swiss ini meraih gebrakan besar dalam kompetisi itu dengan lima penyelesaian beruntun, dan saat ia menerima cek itu, ia langsung pindah ke Thailand untuk berkomitmen penuh waktu demi mencapai puncak.

Ia mengenang:

“Itu adalah titik balik dimana saya seperti, ‘Ok, sekarang saya bisa hidup dari itu.’ Maka saya pindah ke Thailand dan tinggal di sana.”

“Terkadang ini masih menjadi pergumulan berat, itu tak seperti saya menjalani kehidupan mewah, tapi saya sekarang bisa hidup dari itu. Saya bisa berlatih, makan dan tidur, dan itu semua cukup.”

Setelah menandatangani kontraknya bersama ONE sementara masih berlatih di Tiger Muay Thai, Phuket, Abevi menderita cedera lutut serius yang membuatnya tak dapat beraksi selama 18 bulan dan melengserkan momentumnya.

Namun, ia mengetahui dirinya takkan dapat ditaklukkan dan tetap bertahan dalam jalurnya, dimana pada akhirnya ia mencetak debut melawan Halil Amir di April 2023.

Walau hasilnya tak sesuai dengan keinginannya, kedua petarung ini memberi aksi yang sangat diingat sepanjang tahun itu, dan Abevi kembali ke jalur kemenangan lewat penyelesaian atas Blake Cooper pada September di tahun yang sama.

Kini bersiap melawan rival yang paling berpengalaman, Zhang, visi pria berusia 24 tahun ini jauh lebih jelas dari sebelumnya, dan ia ingin melanjutkan lajunya menuju puncak panggung dunia. 

Ia menyebutkan:

“Bahkan saat saya cedera, saya tahu tak ada jalan untuk berbalik bagi saya. Saya tahu inilah cara saya. Saya tahu ini kehidupan saya dan tak pernah ada kemungkinan untuk menyerah.”

“Saya merasa sangat diberkati. Saya tahu seberapa banyak petarung yang ingin ada dalam posisi saya dan saya bersyukur.”

Selengkapnya di Fitur

Smilla Sundell Allycia Hellen Rodrigues ONE Fight Night 14 16 scaled
Thongpoon PK Saenchai Timur Chuikov ONE Fight Night 19 61 scaled
Halil Amir Ahmed Mujtaba ONE Fight Night 16 32 scaled
Smilla Sundell Allycia Hellen Rodrigues ONE Fight Night 14 29 scaled
Smilla Sundell Allycia Hellen Rodrigues ONE Fight Night 14 55 scaled
Smilla Sundell Allycia Hellen Rodrigues ONE Fight Night 14 21 scaled
Zakaria El Jamari Ali Saldoev ONE 166 39 scaled
Sinsamut Klinmee Mouhcine Chafi ONE Fight Night 16 64 scaled
Blake Cooper Maurice Abevi ONE Fight Night 14 41 scaled
Constantin Rusu Bogdan Shumarov ONE Fight Night 12 68
Kairat Akhmetov Reece McLaren ONE Fight Night 10 12
WeiRui 1200X800