Awal Mula Petarung Berbakat: Kenali Atlet Muay Thai Remaja Sensasional Johan Ghazali Jelang Debut Jam Tayang Utama A.S.

Johan Ghazali Temirlan Bekmurzaev ONE Friday Fights 36 9 scaled

Terlepas dari usianya yang masih sangat muda, Johan “Jojo” Ghazali telah menjadi salah satu bintang pendobrak terbesar dalam olahraga tarung pada tahun ini.

Remaja fenomenal berusia 17 tahun ini menghancurkan semua lawannya demi meraih kontrak senilai ratusan ribu dolar AS dari ONE Championship dengan catatan rekor dominan 4-0 dalam rangkaian ajang mingguan ONE Friday Fights.

Saat ini, ia akan mencetak debutnya pada jam tayang utama A.S. melawan Edgar Tabares dalam gelaran ONE Fight Night 17, Jumat, 8 Desember ini, atau Sabtu pagi, 9 Desember waktu Asia.

Para penggemar memang menyukai Ghazali – bahkan membandingkannya dengan Juara Dunia ONE Flyweight Muay Thai Rodtang Jitmuangnon – dan ia akan meraih kesempatan memberi kesan menawan bagi lebih banyak penggemar lagi saat beraksi dalam kartu khusus Muay Thai di Bangkok, Thailand.

Sebelum ia beraksi melawan Tabares di Lumpinee Boxing Stadium, mari kita kenali lebih dekat lagi petarung sensasional Malaysia-Amerika itu, yang dipercaya oleh banyak orang akan menjadi Juara Dunia masa depan.

‘Sejujurnya, Saya Benci Olahraga’

Ghazali terlahir di Putrajaya, Malaysia. Ayahnya adalah perwira polisi, dan ibunya merawat rumah bagi keempat anak mereka – tiga putra dan satu putri.

“Jojo” memiliki keturunan campuran, dimana ayahnya separuh Indonesia dan separuh Jepang-Malaysia, sementara ibunya berasal dari negara bagian New Mexico, Amerika.

Mereka bertemu di Oregon saat ayahnya menjalani studinya, dan dengan semangat yang sama akan Muay Thai, mereka menjalin hubungan di sasana dan kemudian kembali ke Malaysia.  

Ghazali berbicara pada onefc.com/id tentang masa kecilnya:

“Sejujurnya, hidup saya sangat menyenangkan. Ayah saya banyak berpindah-pindah, tetapi kami lebih banyak tinggal di Kajang sebelum pindah ke Sarawak.”

Walau ia sudah mencetak dampak luar biasa di atas panggung dunia sebagai petarung, striker yang sedang naik daun ini mengakui bahwa dirinya tak selalu ditakdirkan menjadi seorang atlet.

Faktanya, Ghazali muda tidak memiliki gairah untuk apa pun – terutama kegiatan atletik – dan belum menemukan percikan itu:

“Sejujurnya, saya membenci olahraga. Saya bahkan tidak suka berlari atau bermain di luar. Saya hanya anak kutu buku. Itu sebagian besar tentang sekolah. Tapi itu juga sebenarnya bukan tentang sekolah. Itu hanya segala sesuatu tentang anak yang malas, hanya tidak melakukan apa pun dan bersantai.”

Menemukan Tujuannya

Walau kedua orang tua Ghazali mencintai Muay Thai dan menjadi kompetitor dalam disiplin ini, mereka tidak sekali pun memaksakannya pada anak-anak mereka.

Selalu ada hal yang berkaitan dengan itu di rumah, tetapi “Jojo” tak tertular sampai ia sedikit lebih tua.

Ia menjelaskan: 

“Saat bertumbuh besar, Muay Thai selalu menjadi bagian hidup saya. Mungkin bahkan sejauh saat saya mulai berjalan, saya ingat ayah dan ibu saya sangat aktif dalam Muay Thai.”

“Ayah saya petarung. Ibu saya juga petarung. Maka mereka selalu mengajari gerakan Muay Thai dan hal-hal seperti itu. Tetapi saya baru mulai serius di usia ke-10. Sebelum itu, saya hanya menghabiskan waktu dengan mereke untuk mencobanya dan bersenang-senang di sasana.”

Sembari membesarkan anak-anak mereka di tahun-tahun awal, orang tua Ghazali lebih terfokus pada pekerjaan dan prioritas keluarga daripada Muay Thai. Namun saat mereka pindah ke Sarawak, fokus mereka kembali ke “seni delapan tungkai.”

Sementara melewati sebuah sasana lokal, ibu Ghazali bertanya apakah ia ingin mencobanya. Tanpa kesibukan lain untuk mengisi waktunya dan isu kepercayaan diri yang dialaminya, anak muda itu menerimanya – dan tak pernah melihat ke belakang.

Ghazali berkata:

“Sebelum pindah ke Sarawak, itu bukanlah seperti latihan setiap hari. Karena [orang tua saya] cukup sibuk dengan kehidupan juga.”

“Saat kami datang ke Sarawak, itu semua terjadi. Kami berkendara melewati sebuah sasana Muay Thai, dan ibu saya bertanya apakah saya ingin mencobanya. Dan saya seperti, ‘Ya, mengapa tidak?’ Itu tak seperti saya melakukan hal lainnya.”

“Saya kurang percaya diri saat kecil. Tetapi Muay Thai memberi saya keyakinan itu. Itu memberi saya tujuan. Saya menyukainya bahkan dari sesi pertama. Berlatih Muay Thai memberi perasaan kuat itu, dan saya suka latihannya.”

Mengatasi Halangan Di Dalam Ring

Sementara ia berlatih dengan kedua orang tua dan pelatih kepala Kru Addy – seorang veteran dari 250 laga di atas panggung Muay Thai terbesar – berbagai hal segera memihak Ghazali. Mendadak, ia beralih dari “anak pemalas” menjadi petarung berbakat.

Itu bukanlah yang diharapkannya, tetapi saat kecintaannya akan olahraga ini bertumbuh, arena kompetisi nampak menjadi progresi alami:

“Awalnya, itu hanya untuk kebugaran tubuh dan bersenang-senang.”

“Beberapa bulan kemudian, ada sebuah laga, dan pelatih saya bertanya apakah saya ingin mengikuti itu. Sebelum saya dapat menjawab, ibu saya berkata, ‘Saya tak peduli jika kamu ingin bertarung atau tidak. Kamu akan bertarung.’”

“Ia menaruh nama saya masuk. Sejujurnya, saya tak ingin bertarung sama sekali. Tetapi lalu saya bertarung, dan saya tak ingin berhenti. Itu saat saya berusia 10 tahun.”

Karier “Jojo” dalam Muay Thai memang tak berhenti sejak itu, namun perjalanannya tak selalu maju.

Untuk berkompetisi di ONE dengan kontrak senilal ratusan ribu dolar AS di usia 17 tahun, nampak seperti dirinya seharusnya bisa saja menjadi petarung berbakat sejak awal, namun ia harus mengalami beberapa hambatan di sepanjang jalan.

Tapi apa pun yang dihadapinya, bintang baru ini tetap bergerak dan tak pernah berhenti – bahkan saat banyak orang lain mengambil keputusan itu.

Ghazali mengenang:

“Saya tak pernah kalah di Malaysia, tapi dalam beberapa laga perdana saya di Thailand, saya kalah.”

“Saya dibantai setiap bulan. Banyak orang melihat kesuksesan itu sekarang, tetapi mereka tak melihat saya menangis saat itu setelah tiap laga. Maka, laga pertama sampai kelima saya di Thailand, saya kalah.”

“Tak pernah terbersit di pikiran saya untuk berhenti. Itu mungkin menjadi jalan keluar yang mudah. Tetapi, itu sangat mengganggu, kalah selama waktu yang cukup lama.”

“Tapi itu hanya memotivasi saya dan membuat saya mempelajari petarung profesional seperti Superbon. Ia kalah dalam tujuh laga pertamanya atau seperti itu. Maka, saya merasa perjuangan itu masih mungkin.”

“Pelatih saya, Addy, berkata pada saya, ‘Jangan khawatir, saat kamu memiliki pengalaman yang cukup, itu semua akan menjadi sempurna.’ Saya akhirnya memenangi [laga] yang keenam di Thailand.” 

‘Mimpi Yang Jadi Kenyataan’

Setelah aksi gebrakan tersebut di rumah spiritual bagi Muay Thai, Ghazali melanjutkan perjalanannya dengan kepercayaan diri yang lebih besar lagi.

Ia membangun reputasi secara regional, memenangi berbagai turnamen prestisius dan mencatatkan rekor 11-1 pada 2022. Hal ini membawanya ke ajang Road to ONE di Malaysia, dimana ia tampil cukup baik untuk meraih kesempatan di ONE saat baru menginjak usia 16 tahun.

Perwakilan Rentap Muaythai Gym ini berkata tentang perjalanannya:

“ONE Championship selalu menjadi tujuan saya sejak awal. Rencananya adalah untuk memenangi turnamen-turnamen besar, mendapatkan pengalaman di Thailand, lalu pergi ke ONE Championship.”

“Hanya ada perasaan pencapaian itu [saat saya sampai di sana], dan saya tak terlalu merasa gugup memasuki laga pertama saya melawan Padetsuk. Saya tahu apa yang harus saya lakukan, dan saya tahu saya harus meninggalkan kesan mendalam.”

“KO 16-detik [dalam debut saya di ONE debut] itu mengejutkan saya, tapi saya merasa itu belum berakhir. Itu adalah awal dari sesuatu yang baru.”

Sebagai atlet termuda di ONE saat ia tampil untuk pertama kalinya, Ghazali menjadi pembuktian sejati di hadapan para penonton yang memadati ajang mingguan pada jam tayang utama itu.

Ia memenangi empat laga berturut-turut melawan rival kuat, menghentikan tiga di antaranya dalam jarak dekat, dimana kontrak senilai ratusan ribu dolar itu kini nampak menjadi formalitas belaka.

Tetap saja, ia mengetahui ada perjalanan baru yang sangat sulit ke depannya melawan para petarung terbaik di antara yang terbaik, dan ia berencana membuktikan bahwa dirinya layak berada di atas tingkatan itu.

Ghazali menambahkan: 

“Saya merasa seperti segala sesuatunya terbayar. Itu adalah impian yang jadi kenyataan [untuk memenangi kontrak itu]. Saya sangat bangga.”

“Saya kira saya mendapatkan posisi itu tak hanya karena saya dapat bertarung, tapi karena saya juga cukup menghibur. Bertarung itu lebih dari sekadar berkompetisi. Itu juga tentang menghibur dan memiliki kemampuan untuk mendukung hal itu. Itulah yang membawa saya sampai di sini.”

Selengkapnya di Fitur

Smilla Sundell Allycia Hellen Rodrigues ONE Fight Night 14 29 scaled
Smilla Sundell Allycia Hellen Rodrigues ONE Fight Night 14 55 scaled
Smilla Sundell Allycia Hellen Rodrigues ONE Fight Night 14 21 scaled
Zakaria El Jamari Ali Saldoev ONE 166 39 scaled
Sinsamut Klinmee Mouhcine Chafi ONE Fight Night 16 64 scaled
Blake Cooper Maurice Abevi ONE Fight Night 14 41 scaled
Constantin Rusu Bogdan Shumarov ONE Fight Night 12 68
Kairat Akhmetov Reece McLaren ONE Fight Night 10 12
WeiRui 1200X800
Regian Eersel Alexis Nicolas ONE Fight Night 21 12
Natalia Diachkova Chellina Chirino ONE Friday Fights 55 14
Sean Climaco